Kisah Almarhum

Horror Story...

Aku punya Pakde, namanya Hasyim. Beliau kakak dari ayahku. Wajah mereka berdua tidak begitu mirip, tapi senyum mereka sangatlah identik. Pakde Hasy, begitulah aku akrab memanggilnya. Beliau menjadi pengganti ayahku selama ayahku bekerja di luar kota. Memang kami tidak begitu akrab, tapi kami sangatlah rukun.

Pakde Hasyim mempunyai istri bernama Aliya dan dua orang anak bernama Balqis dan Iqbal. Mereka tinggal di Indramayu. Hanya saat lebaran saja mereka berkunjung ke rumah nenek di Cirebon. Pakde Hasy bekerja sebagai dosen di sebuah Univ di Kalimantan jurusan Psikologi. Karena pekerjaannya yang membutuhkan waktu, maka beliau memutuskan tinggal di Kalimantan [sejak 2007 lalu], sementara keluarganya tetap tinggal di Indramayu sehingga mereka hanya berjumpa di hari-hari libur saja.

Terakhir aku bertemu dengan Pakde Hasy adalah lebaran 2010 kemarin saat beliau sekeluarga bersilaturrahmi kerumah nenek di Cirebon. Namun, tanggal 27 oktober 2010 kemarin, pagi-pagi sekali saat aku hendak berangkat ke sekolah, aku mendapat sebuah telephone dari Ibuku di Cirebon yang memberitakan bahwa Pakde Hasy telah meninggal dunia di Kalimantan pukul 3 pagi tadi.

Mendengar berita yang benar-benar menyedihkan itu aku langsung melupakan sekolahku [masih sempat SMS Catur _ minta izin_]. Aku bilang ke Bude Sofia [Budeku yang di Jogja] tentang berita duka tersebut. Langsung saja pagi itu Bude Sofia teriak-teriak memanggil santri-santrinya yang bisa mengemudikan mobil untuk mengantar kami ke Indramayu. Abror Jeem [sepupuku] yang pada waktu itu sedang sibuk memandikan motornya langsung di suruh memanggil Irfan [pak supir], agar cepat-cepat mengantar kami ke Indramayu. Dan satu lagi, Andre [sepupuku juga], yang kebetulan melintas didepan kami dipaksa ikut ke Indramayu. Seneng tuh anak…!

Singkat cerita, pukul 5 sore kami sudah sampai Indramayu. Ternyata jenazahnya sudah dikebumikan. Aduuh sedihnya, tidak bisa melihat wajah pakde untuk terakhir kalinya. Namun kami masih bisa melihat wajah istri beliau dan kedua anaknya. Aku iba melihat mereka.

Bude Aliya terisak sambil menemani para tamu di ruang tamu, Ibuku berada diantara mereka dengan Tyas [adikku] melingkar dipangkuannya. Sementara itu Balqis sedang duduk termenung dan Iqbal terisak ditemani Rifqi dan Giffary [sepupuku yang lain].

Disini disebutkan saudara-saudaraku yang lain, seperti Abror Jeem dan Rully Andre, mereka berdua sepupu dari simbah dari ibuku, Iqbal dan Balqis, mereka sepupu dari ayahku, Rifqi dan Giffary, mereka sepupu dari ibuku. Wajah Giffary mirip dengan temanku, Muhamad Hafidz Ryansyah. Dan Tyas adalah adikku.

Aku benar-benar Iba melihat mereka berdua. Walaupun kami tidak begitu akrab, tapi aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Aku dan Andre mencoba menghibur mereka, tapi gagal. Dalam suasana duka tersebut akhirnya Balqis yang merupakan kakak dari Iqbal berhasil menguasai diri, ia pun tidak sungkan-sungkan untuk bercerita tentang ayahnya.

Jadi, pukul 2 siang dua hari sebelumnya [minggu, 24 oktober 2010], Pakde Hasy menelpon Balqis dan memberitahu bahwa beliau akan pulang ke Indramayu hari rabu [27 oktober 2010]. Katanya beliau sudah sangat rindu dengan mereka berdua termasuk Bude Aliya. Dan ternyata benar, Pakde Hasy telah pulang ke Indramayu di hari yang di janjikan olehnya dan tidak akan pernah kembali lagi ke Kalimantan. Aku pun ikut menitikan air mata, sedih mendengar tutur kata dari mulut Balqis. Merinding aku saat kata-kata itu masuk kedalam benakku.

Pakde Hasy adalah orang yang sangat hebat. Beliau memiliki ciri khas khusus yang hanya di miliki olehnya [dikeluarga besar kami], yaitu batuk beliau yang nyaring dan merdu [apik nek ikut IMB] dan cara jalan beliau yang di geser, jadi jika beliau jalan kaki menggunakan sandal maka akan terdengar suara sangat bising.

Sejak beliau berangkat ke Kalimantan, kami _terutama Balqis dan Iqbal_ sangat merindukan ciri khas beliau tersebut. Namun anehnya seiring kematian beliau, ciri khas tersebut masih belum menghilang…

Katanya, orang meninggal itu arwahnya masih berada disekitar rumahnya selama kurang-lebih 40 hari setelah ia meninggal. Bener gak tuh?

Aku, Andre dan Bude Sofia memutuskan untuk bermalam di rumah duka, menemani Bude Aliya dan kedua anaknya. Begitupun dengan beberapa anggota keluarga kami yang lain, seperti Rifqi, Giffary dan orang tua mereka, kecuali Ibuku.

Aku tidur bersama Andre dan Giffary di kamar belakang. Jujur saja tidur kami tidak nyenyak. Wajah Pakde Hasy masih terngiang di dalam otakku, menari-nari, manantang duel dan seolah-olah mengajak kami terbang bersamanya.

Andre dan Giffary memutuskan main catur agar cepat ngantuk, sementara aku hanya jadi penonton mereka. Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara batuk. Ya! batuk!, batuk yang nyaring dan merdu, khas batuknya Pakde Hasy! Aku tersentak. Aku pikir cuman perasaanku saja. Tapi ternyata Andre dan Giffary pun mendengar suara yang sama.

Kami memutuskan untuk mengecek siapa gerangan yang batuk di tengah malam tersebut, tapi akhirnya kami berinisiatif untuk mengurungkan niat kami dan kembali bermain catur.

Untuk kedua kalinya suara batuk tersebut terdengar kembali. Kali ini lebih lama seakan-akan mengajak kami untuk keluar dan bergabung membentuk club batuk _dengan anggotanya yang berkomunikasi dengan cara batuk_. Kami benar-benar merinding dibuatnya.

Lalu dengan sigap, si Giffary menggapai HP-nya dan menyalakan MP3 dengan nyaring.

“heh udah malam ini, nanti dimarahin Bude, kayak rumah sendiri aja!,” kata Andre.

“masih mending denger lagu Avenged ato denger suara hantu batuk?,” bisik Giffary. Aku sih jujur masih mending denger suara mereka bertengkar. Ayo lanjutin bertengkarnya biar tuh hantu bosen batuk-batuk melulu dan cepet pergi karena di cuekin. Hei para pembaca pernah nonton film horror thailand yang judulnya Phobia? Di film itu si hantu marah karena di cuekin [kasian banget ya hantunya] hihihi.

Beberapa saat kemudian suara itu menghilang, di gantikan suara langkah kaki. Langkah kaki yang di geser. Suara langkah kaki itu mendekat dan berhenti di depan pintu kamar kami. Kami tinggal menunggu hitungan detik sebelum pintu terbuka dan mengetahui siapa yang ada di balik pintu yang memiliki suara kaki itu.

Benar saja, beberapa detik kemudian pintu terbuka. Seorang anak berdiri disana. Kami dengan jelas melihat matanya yang sembab. Iqbal berlari masuk dan melempar dirinya di atas ranjang kami dengan ketakutan. Kami masih bingung dan terus bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat anak ini gemetar ketakutan. Lalu Iqbal pun angkat bicara:

“aku melihat bapa,” katanya singkat. Aku pengen nangis dengernya. Entah nangis karena sedih atau nangis karena takut. Andre dan Giffary membeku.

“tadi aku denger suara batuk dan langkah kaki bapa,” lanjutnya. “tapi aku bingung, itu mimpi atau bukan”.

Aku pengen terus terang kalau kami juga denger suara batuk dan langkah kaki itu, tapi aku takut malah membuat Iqbal semakin takut.

“aku tidur disini ya,” katanya lagi. Kami hanya mengangguk pelan. Dan tanpa menunggu rumput tumbuh, kami langsung naik ke ranjang dan memejamkan mata hingga pagi menjelang.

Esok paginya, aku menemukan Giffary sudah pulang ke Cirebon bersama keluarganya. Aku dan Andre pun memaksa Bude Sofia agar cepat pulang ke Jogja. Kebetulan pagi itu datang Bule Nunung [adik ayahku], sehingga ada yang menemani Bude Aliya.

Siang harinya, kami pun pulang ke Jogja, tapi sebelumnya kami mampir ke Cirebon. Dan malam harinya sekitar pukul 9 malam kami berangkat ke Jogja…

0 komentar:

Posting Komentar