Malam Terasa Sangat Panjang

Pesantren...
Tinggal di pesantren sama sekali bukan cita-citaku. Tapi apa boleh buat. Toh pesantren tempat tinggalku yang punya Budeku, namanya Bude Sofy (orang yang paling tidak peduli sama aku), jadi walaupun ibuku nitipin aku ke Dia, aku sama saja tinggal di kost. Free! Hahaha.
Tapi tetap saja aku di wajibkan ikut ngaji Al-Qur’an dan hafalin dan juga sekolah Madrasah. Dan gak usah panjang lebar dah, kisah ini di mulai saat aku sedang sekolah Madrasah.
Selasa, 21 desember 2009…
Tiba pada pukul 08:15 p.m, bel madrasah menggema. Aku mulai bersiap-siap. Jadwalnya kitab Safinatunnajah yang membahas tentang Fiqh, ustadznya Untadz Maftuh Mubarok. Aku berjalan menyusuri setiap lekuk komplek L alias tempat aku tinggal (khusus santri cowok). Ketika aku melewati kamar mandi aku ingat sesuatu. Ada PR! Aduuh, PR tentang Fiqh suruh nyari masalah tentang Fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Aku belum dapat. Tapi Alhamdulillah disaat genting seperti ini, pertolongan pertama muncul. Teman sekamarku, Faruq, muncul dari WC. Aku bahagia. Ia aku begal dan di minta memberikan persoalan Fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Dan aku pun dapat.
Sampailah aku di ruang kelas Tsani (kelas dua), wah ternyata aku orang pertama yang datang. Jadilah aku duduk-duduk dulu sambil merenung tentang masalah yang di berikan Faruq (gak penting, coz tar gak ada hubungannya sama cerita ini). Singkat cerita, semua santri kelas Tsani pun berkumpul. Kelas Tsani merupakan kelas dua dari empat kelas Madrasah Salafiah Al-Munawwir, Komplek L. Semua santri di kelas ini anak kuliahan semua. Kecuali tiga murid. Aku, Farid (anak MAN1), dan Kresno. Tapi Farid jarang berangkat karena sakit-sakitan dan pulang ke Kulon Progo. Dan Kresno yang gak sekolah pada malam ini absen. Akulah paling muda sekarang.
Jumlah muridnya 16 orang. Tapi yang hadir pada malam hari ini cuma 10 orang; Eko, Ibnu, Azis, Faiz, Aku, Mukhtar, Fajar, Khasol, Rosyid dan Idzudin --- ketua kelas --- (tersusun menurut tempat duduk kami dari kiri ke kanan). Dan yang tidak berangkat enam; Kresna, Fadri, Farid, Syeful, Syauki dan yang satunya aku lupa namanya.
Pelajaran dimulai dengan membaca Al-Fatihah dan berdoa untuk pengarang kitab. Karena minggu lalu kitabnya sudah di baca, maka hari ini tinggal menerangkan. Dan tibalah sesi menerangkan --- oh iya, hari ini kitab Fiqhnya menerangkan tentang Najis yang bisa suci, Najis, Haid dan Nifas --- (aku berdoa mudah-mudahan Ustadznya lupa PR-nya. Perfect!).
Diawali dengan: sang Ustadz membahas tentang Najis yang bisa di sucikan. Sang Ustadz berkata; “salah satu syaratnya yaitu benda yang berasal dari benda lain/hewan, contohnya singgat atau belatung, singgat dalam apel misalnya. Jika termakan tidak apa-apa. Kecuali jika singgat dalam apel itu dikumpulkan dan dimakan, itu udah beda hukumnya”.
Ha? Aku mulai berimajinasi. Bayangkan mengumpulkan singgat dari apel, dan yang dimakan singgatnya bukan apelnya. Hoek! Jijik. Di saat seperti itu, Rosyid yang duduk di seberangku sendawa (atob). Spontan aku dan Faiz tertawa. Yang lain memandang ke arah kami dengan pandangan mengancam. Ups!
Kelas berlanjut, kali ini memasuki bab Najis. Sang Ustadz berkata; “contoh najis mughaladah (najis berat) itu anjing atau asu, celeng atau babi dan keturunan mereka”. Ha? Disini aku benar-benar gak dong. Lalu Ibnu mengangkat tangan; “maaf Ustadz, keturunannya itu maksudnya apa?”. Sang Ustadz menjawab; “ya misalnya perkawinan antara anjing dan kambing, lha anak mereka itu juga najis, walaupun bentuknya kayak kambing”. Ha? Imajinasiku kembali bekerja. Bayangkan saja anjing kawin sama kambing. Waah keturunannya kayak apa ya? mungkin kambing setengah anjing kaya Griffon atau anjing tapi mengembik. Hehe.
Kelas berlanjut. Ustadznya sama sekali gak bisa rame-in suasana. Kita semua mulai mengantuk. Hingga akhirnya masuk ke bab Haid. Jerejejeng!!!!
Panjang lebar sang Ustadz membacakan segala sesuatu tentang Haid. Seluruh kelas hening, tapi heningnya beda, bukan hening mengantuk tapi hening khusyu memperhatikan. Hingga akhirnya sampai pada sesi ‘penerangan’. Sang Ustadz berkata; “asal mula Haid itu berasal dari Siti Hawa ketika… ”.
“… ketika cinta bertasbih”, welah Idzudin si Pendiam menyanyi. Otomatis karena kelas sepi sementara suaranya lumayan keras. Kelas pun meledak. Tawa menggema, bahkan mengalahkan tawanya kelas Ula (kelas satu) diatas.
“weh, malah ketika cinta bertasbih”, kata Ustadznya, “Haid itu berasal dari getahnya buah Quldi yang di makan Siti Hawa”. Ooh! Semua kelas kembali hening. Hingga akhirnya Ustadznya kembali nerangin; “hewan juga ada yang bisa Haid, kaya Kelinci, Monyet, Unta, kelelawar, kuda, anjing dan satu lagi apa ya? lupa, kalian tahu?”.
Sejenak kelas sepi. Kelas atas bersorak menggila. Sapa toh gurune? Hingga akhirnya trans kami berhasil di taklukkan Ibnu yang kembali menyeletuk; “cicak!”. Sang Ustadz tersenyum, Ibnu dengan ceria memandang kearah kami satu persatu. Hingga akhirnya sang Ustadz terkekeh dan berkata; “kwe wis tau di Haid-i cicak po?”. Kelas meledak tawa. Ibnu mencibir. Hahaha.
Beberapa saat kemudian kelas kembali hening. Sang Ustadz kembali menerangkan tentang Haid. Faiz yang berada di sebelah kiriku mengacungkan tangannya dan berkata; “pak Ustadz, bagaimana cara mengetahui cewek Haid, maksudnya ngetesnya pake apa?”.
“hanya cewek yang tahu!”, desis Mukhtar di samping kananku.
“biasanya ngetesnya pake kapas”, kata Ustadznya. Eko dan Fajar mendesis secara bersamaan. Dan Khasol yang duduk di dekat pintu yang sedari tadi hanya memandang keluar tiba-tiba terkekeh misterius. Kami memandang kearahnya. Ia langsung diam dan memasang wajah innocen.
“perih dong?”, kata Ibnu.
“coba liat”, canda Azis yang berada di samping kanannya seraya melirik ke P**** Ibnu yang tertutup sarung. Otomatis Ibnu menutupi P****-nya dengan kitabnya. Azis tersenyum menggoda.
“sapa yang mau di tes”, kata Ibnu gemetar. “aku juga mau kalo suruh ngetes”.
“ya ngetes dewe-dewe yo! Masa di tes ke nang wong lanang, udu mukhrime!”, kata sang Ustadz. “ya, katanya sih panas”.
“hayoo, kata sapa?”, rayu Azis. Yang lain tertawa. Spontan sang Ustadz salting dan cepat-cepat nyeletuk; “ya kata kitabnya! Ato coba kalian sekali-kali tanya sama cewek e dewe-dewe”.
“???”. Azis bengong. Lalu Idzudin yang berada di seberangnya sekaligus teman sekamernya menimpali “azis belum punya cewek”.
“lha terus tanda-tandanya mau Haid itu gimana?”, kata Azis mengalihkan pembicaraan. Idzudin mencibir di seberang.
“sensitive”, celetuk Faiz di sampingku. “aku udah hafal, biasanya kalau di tanggal muda cewekku sensitive, musti lagi dapet”. Semua melihat kearahnya. Kecuali Rosyid dan Khasol. Rosyid ngantuk dan Khasol sibuk melihat keluar pintu. Kelas di atas kembali bergemuruh.
Sementara mereka menanggapi cerita Faiz tentang ceweknya sang Ustadz kembali menerangkan; “katanya tanda-tanda mau Haid itu mules dan P*y***** mengeras. Dueng! Kelas hening. Semua menatap sang Ustadz. Faiz menggumamkan kata-kata seperti “wuiss!”. Khasol tersadar dari lamunannya dan memandang kearah sang Ustadz. Seluruh kelas; “Ha?”, bahkan Rosyid pun tersadar dari kantuknya dan terbengong-bengong tengok kanan tengok kiri seakan ada CCTV yang mengawasi.
Sang Ustadz kembali berdalih; “sebelum Haid itu rasanya pegal-pegal”. “apanya tuh?”, sela Ibnu bersemangat sekali, aku terkikik geli. “persendianya pegal-pegal. Terus kalau habis Haid biasanya panas… ”, “apanya yang panas?”, sela Khasol bergairah. “mau tau? Seribu dulu!”. Seluruh kelas kembali meledak. “… dan biasanya Haid itu di dasarkan dari faktor makanan. Itu salah satunya” (“fear faktor”, desis Idzudin. Hanya aku dan Allah yang tahu).
“makannya sekali-kali kalian melakukan observasi ke komplek Q (komplek khusus santri wanita di sebelah komplek L)”, saran sang Ustadz. Khasol tersenyum gak jelas.
Selesai sudah bab Haid. Dan sekarang memasuki bab Nifas. Sang Ustadz menjelaskan panjang lebar yang intinya bahwa apabila ada seorang wanita yang sedang Haid sekaligus hamil, dan ketika setelah bersalin masih keluar darah itu termasuk darah Haid, bukan darah Nifas sepenuhnya. Di saat seperti ini Mukhtar beraksi; “Hamil + Haid = Bocor”. Kali ini hanya aku yang tertawa. Semuanya melihat kearahku. Waduh!
Sang Ustadz pun kembali melanjutkan khotbahnya. Aku tengok kanan tengok kiri dan menemukan Mukhtar di sebelah kananku sedang mengupil sembunyi-sembunyi, disebelah kanannya Fajar sedang melamun. Tatapannya kosong.
Faiz bertanya; “Ustadz apabila ada seorang wanita sedang sholat dan keluar darah Haid itu hukumnya gimana?”, (ha? Inikan sudah masuk bab Nifas) sang Ustadz terkekeh dan berkata; “batal euy!”. Mukhtar terkikik di sebelahk. “crott!”, gumamnya.
“ya soal Haid kalian bisa meninjau dari sisi kedokteran juga”, saran sang Ustadz.
“… atau sisi dukun”, imbuh Mukhtar. Semua tertawa termasuk aku.
“oke. Kita sudah masuk bab Nifas kan. Jadi begini… ”.
Siiiiinggg!! Kelas hening. Semua menunggu apa yang akan pak Ustadz katakana. Tatapanku mulai berkeliling ruangan mengawasi aktifitas mereka. Idzudin memainkan kuku kakinya. Rosyid melamun menahan kantuknya sambil memandang permadani dan memilin-milin rambutnya. Khasol senyum-senyum sendiri di dekat pintu.
Fajar sadar dari trans-nya dan sedang sibuk mengelus-elus dagunya yang tanpa jenggot. Mukhtar yang diapit aku dan Fajar sedang sibuk mencungkil jerawatnya. Faiz sedang khusyu memandang sang Ustadz yang super lola!. Azis melenguh ketika aku menatapnya. Ibnu mengipas-ipas dirinya menggunakan kitab. Dan Eko sedang… ngantuk.
Akhirnya sang Ustadz membuka mulutnya dan berkata; “aduuh! Lupa mau ngomong apa”.. prekk!!
Kemudian Mukhtar angkat bicara; “ Ustadz, saya pernah lihat di video-video, sebelum melakukan ‘itu’ sudah keluar air dulu, itu sebenarnya air apa? Madi atau mani?”. Semua anak tertawa. “video apa”, seru Azis didukung sama teman yang lainnya termasuk aku. Dan di saat seperti itu Idzudin menyeletuk; “pelumas itu”. hehe.
Sang Ustadz tersenyum. “itu air madi”.
“kalo pada wanita ada gak?”.
“ada, tapi susah ngeluarinnya, nah, nek wedo wis metuke ‘itu’, berarti wis takhluk”, Fajar, Idzudin dan Rosyid tertawa.
“kalau keputihan itu gimana Ustadz”, kata Idzudn kemudian. Faiz menyeletu; “sari rapet, resik V biar keset”. Aku tertawa, tapi dalam hati, sementara Khasol terang-terangan tertawa terbahak-bahak.
“ustadz kalau begini gimana? Ee, aku punya cerita, begini ada sepasang suami istri. Sang istri Haid lebih dari 15 hari, sementara sang suami ingin melakukan *** itu, tapi karena dalam islam orang yang sedang Haid itu tidak boleh melakukan *** maka sang istri menolak. Nah kalau sang suami gak sabar dan pengen jajan di luar apa yang seharusnya sang istri lakukan?”.
“wah critane dawa, iso ngalahke novel Harry Potter”, kataku untuk pertama kalinya.
“wah, gimana kalau begini”, kata sang Ustadz mengajak berdiskusi. “yang tahu jawabannya gak usah sungkan-sungkan berbagi”.
“boleh menurut saya sih”, celetuk Ibnu. Tapi Mukhtar menimpali dengan pendapat lain; “onani aja, walau pun gag di jepit pake Mrs. F”.
“hus! Mrs V, bukan Mrs F”, kata Ustadznya. Ha?
“kalau begitu di nasehatin aja kalau jajan di luar itu dosa”, kata Ibnu lagi. Idzudin tersenyum setuju. Sang Ustadz menimpali dengan kata-kata yang sepertinya “Perempuan Berkalung Sorban”… aku terkiki gelid an dengan protective Faiz memandang kearahku dengan jahat dan berkata; “kamu tuh masih kecil!”. Otomatis seluruh kelas meledak tertawa. Aku benar-benar malu. Shit!! Aku memandang ke arah Rosyid dan menangkap basah ia yang sedang menggigit kukunya.
“Ustadz kalau ada suami istri melakukan hubungan *** setiap hari atau setiap jam (semua kelas tertawa), itu ada tempatnya enggak di Mrs V-nya?”. Semua tertawa, bahkan Ustadznya pun tertawa terbahak-bahak.
“setiap jam, Nu?”, kata Azis yang duduk si sebelah kanan Ibnu seraya mengelus-elus paha Ibnu dan berkata; “pantesan kurus”. Hahaha… semua kelas ketawa. “ada apa sih?”, kata Fajar super lola. “Pentium berapa kau!”, kata Azis.
“haduw haduw”, lenguh sang Ustadz. “mempelajari tentang Haid dan Nifas itu hukumnya fardu ain bagi perempuan dan fardu kifayah bagi laki-laki. Ada lagi?”.
“bicara tentang darah. Kalau darah malam pertama itu darah apa namanya?”, semua orang yang ada di ruangan itu membeku. Termasuk aku. Waduh, umurku kan baru 16 tahun, berarti aku belum dewasa untuk mendengar yang seperti ini… sang Ustadz diam. Rupanya ia sama terkejutnya dengan kami.
“darah Assalamualaikum”, celetuk Mukhtar tiba-tiba, semua orang melihat ke arahnya dan tertawa terbahak-bahak. Terdengar bel pulang berbunyi dan kelas di atas sudah menyanyikan shalawat perpisahan.
“oke. Penjelasannya cukup sampai disini”, kata sang Ustadz akhirnya. Eko melongo. Kami pun bersiap-siap membenahi barang-barang kami. Dan dengan shalawat perpisahan kami mengakhiri kelas koplo ini dan menuju kamar masing-masing pada pukul 09:30 p.m.
Malam yang sangat panjang dan melelahkan…

NB: Sudah melewati pengeditan berkali-kali dan mendapat sertifikat izin tayang dari MUI...
hehe...

0 komentar:

Posting Komentar