Kisah kamar diujung koridor

XI IPA1 Story...
“Baliiii”, jeritan koyo ngono wis biasa coz saiki critane wis hari kedua nang Bali para pemirsa. Ckakakak. Seperti yang kalian ketahui malam pertama kita masih dalam perjalanan, jadi tidurnya masih pada di bis, tapi lain cerita dengan malam kedua, malam kedua kita sampailah di hotel bintang 7 (sakit kepala-2=5), hehe wagu yo.
Kita telah sampai di hotel bintang 5, bagi yang merasa cowok silahkan ngebo di hotel dewata dan bagi lawan jenisnya alias si putri monggo teng hotelnya Vidi Aldiano, nuansa indah (nuansa bening dab nek Vidi mah).
1 kamar=4 personel, tapi kamar 205 yang notabennya sebagai VIP room, cuma tiga orang gan, keren gag tuh? Heho. Kamar 205 ini letaknya di pojok paling wetan sendiri. Kamar yang menyendiri ini ternyata mempunya rahasia yang sangat menyeramkan (lebay).
Kamar ini memiliki kelebihan yang cukup banyak, selain kasur empuk dan atapnya masih bagus, kamar ini juga memiliki daya tarik tersendiri yang membuat anak-anak dari kamar lain tertarik untuk nginep di kamar ini. Entah apa itu daya tariknya?
Diatas sekilas kelebihannya, kalo ada kelebihan pasti ada kelemahannya dong, hehe. Kelemahan kamar ini ada pada jendelanya yang gak bisa dikunci dan AC-nya yang mati (panaaass euy!). Tapi walaupun gak ada AC, masih ada angin dari luar. Wakakak
Tapi kelemahan yang jelas-jelas membahayakan itu tidak membuat anak-anak lain berhenti berkunjung kekamar ini. Liat aja malam pertama: kamar yang di rawat rapih oleh Charles Angeles (baca: Yoga/Bowo, Adit/Ibox, dan Breggy) ini sudah banyak peminat yang duduk di atas kasurnya yang empuk. Sebut sahaja gerombolan kelas A dari XI IPA1 (baca: Judan, Ilham, Dimas dan Andre), tidak segan-segan mereka mengobrak-abrik kamar ini, bahkan mereka menjelek-jelekkan kamarnya sendiri.
Para kroyo kelas A ini bertempatkan di kamar 203, kamar yang pas ada di sebelah kamar 205 ini sama sekali tidak menunjukkan kebesaran para pemiliknya.
“kamarmu enak e wok, ra koyo kamarku,” celetuk Ilham seraya berbaring santai menikmati keempukkan kasur 205. “kamarku elek tenan yakin”.
Bisa terbayangkan, walaupun aku belum pernah memasuki kamar 203 tapi aku sudah bisa merasakan ketidaknyamanan kamar tersebut, katanya nih kamarnya berantakkan, kotor, atap kamarnya juga udah mau jebol, dsb lah. Hahahaha. Akhirnya tuh saking nyamannya Ilham sampe-sampe dia ketiduran di kamarku, jadilah malam itu kamar 205 ketambahan 1 personel.
Selain mereka berempat, banyak juga anak-anak yang berkunjung. Seperti dua anak IPS (baca: Rully dan Dito), yang berkunjung untuk membanding-bandingkan kamar mereka dengan kamar ini (ya jelas kalah lah kamar mereka, secara gitu!), ada juga Hafidz, Acil, dan ABK dari kamar 206, Dhana dari kamar 207, dan Rahmat alias Memet dari kamar entah berapa yang dengan sangat baik berkunjung membawa sekotak martabak telor (aseeek!!).
Entah apa maksud si kroyo dari kamar sebelah, setiap mereka berkunjung mesti mereka meninggalkan barang-barang mereka (baca: sendal jepit) di kamar ini, dan ketika mereka mencari dan menemukannya di kamar ini mereka pasti menyalahkan penghuni kamarnya, dasar!. Mungkin karena iri ya? Pernah juga tuh si Judan pas aku lagi mandi dengan sangat menyebalkan dia mematikan lampunya. Bodoh! Ya gak bisa liat laah!
Selain cerita di atas ada juga keperluan mereka yang membuat kami berpikir kalo kamar mereka memang benar-benar tidak layak di huni, mereka sholat di kamar 205, kami tidak habis pikir, apa sih yang membuat mereka tidak betah di kamar 203 dan lebih betah di kamar 205??
Malam pertama berjalan alakadarnya, hingga pagi menjelang dan kami pun segera melanjutkan tour ke tempat wisata lainnya di Bali, baru setelah menjelang sore kami kembali ke hotel dan kekamar masing-masing.
Kali ini kami mendapat kunjungan dari Catur, malam sebelumnya ia hanya melongok ke kamar 205 (mbuh opo maksude), tapi setelah melihat-lihat isi kamar 205 dan menikmati layar TV+kasur 205 yang empuk, ia pun jadi enggan untuk kembali kekamarnya di 206. Katanya kamar 207 benar-benar tidak nyaman, sepertinya tidak layak di sebut sebagai kamar hotel, kasurnya sama sekali tidak empuk dan njeblos-njeblos (pegasnya udah rusak), udah gitu WCnya gag bisa berhenti mengeluarkan air, haduh payah deh!
Setelah ia mengetahui kalau personel 205 hanya 3 orang, ia pun jadi tertarik untuk mendaftar menjadi personel ke-4 (baca: gantine Ilham), dengan rayuan gombalnya (dengan membawa segepok makanan dari kamarnya), akhirnya Bowo dan Breggy pun mengijinkannya untuk pindah kekamar 205. Jadilah kami ketambahan 1 personel lagi.
Selain Catur, rombongan kelas A masih terus berdatangan ke kamar ini, menggusur kasur, makanan dan TV. Selain itu mereka juga mengobarak-abrik oleh-oleh Bowo buat Ariani yang sudah terbungkus rapih sehingga membuat Bowo murka. Baru setelah lelah mereka kembali kekamarnya masing-masing. Ketika sedang sepi datanglah orang baru yang super rawr! (baca: Judith) dari kamar 207. Dengan celotehnya yang tidak ada titiknya akhirnya kamipun lelah dan mengusirnya dengan paksa. Wakakakak
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WITA, Bowo dan Breggy sudah kembali, setelah tangannya mereka Tatoo di depan hotel. Kami mulai berbaring di tempat masing-masing. Bowo ternyata selain phobia laba-laba, ia juga phobia gelap dan hantu, huahhhhaaaaha.
Malam itu ia memaksa kamar untuk tetap terang, Catur suruh tidur dekat jendela supaya Bowo tidak melihat jendela yang kebuka, Breggy suruh jangan kemana-mana (tetep didekat Bowo maksudnya), dan dia juga menyuruh aku supaya berhenti bercerita seram… hahahaha
Jadi gini, setelah kami tiduran di tempat msing-masing, Catur nyeletuk:
“eh, kayaknya tadi ada suara orang lari deh di atas,” sambil menunjuk arah atap. Bowo dan Breggy mulai merinding.
“ah perasaanmu ae,” kataku berusaha mencairkan suasana.
“ora cerita sing serem-serem toh,” kata Bowo. Kami berdua tertawa sementara si Breggy membeku.
“eh iya, kemaren juga pintu kamerku ada yang ngetuk lho,” kata Catur.
“maksude?”.
“iyo, kan Hafidz, ABK, kro Acil wis do turu toh? Lha aku lagi nonton bola dewekkan, trus ono sing ngetuk pintu kamerku 3x,” katanya dramatisir. Bowo mulai memejamkan matanya dan berusaha tidak mendengar cerita Catur. “padahal kui wis jam 12 malem”.
“hahahaha, Leak Bali paling,” kataku. “percoyo karo setan”.
“ashmbuh!,” kata Bowo da Breggy, lalu kami pun segera tidur.
Pagi hari menjelang. Ini merupakan hari terakhir kami di kamar ini, sekaligus hari terakhir kami di Bali. Pagi-pagi buta pun, gerombolan kelas A terus berdatangan ke kamar kami, bahkan Judan mau numpang mandi. Bzz…
Di antara hiruk-pikuk kesibukan kami, dengan Judan masih memohon untuk ikut mandi (lebay) datang orang baru, sebut saja si Ridwan alias TJ, yang datang hanya untuk meminta sabun. Mbahmu! Miskin tenan toh? Hehe. Tapi tak apa.
Setelah semua beres kami siap untuk keluar dari kamar yang begitu membekas di hati kami ini, tapi si Bowo dengan mencurigakan terus-menerus memandangi bantalnya. Ada apakah gerangan? Kami bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya ketauan juga, ternyata tadi malam harusnya dia menunggu tatoonya kering dulu baru tidur, tapi mungkin karena takut akan cerita horor dari kami, iapun tidur lebih awal, akibatnya tatoonya yang masih basah menempel di bantalnya dan meninggalkan noda berbentuk tribal. Wakakakak. Gak papa, itung-itung kenangan dari kami. Oke, selamat tinggal 205…

0 komentar:

Posting Komentar